Ngurah Praja


Sabtu, 13 Maret 2010

Melasti di Pantai Candikusuma

Melasti atau hari makiyis adalah hari nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri).

Selambat- lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

Aku melasti sendiri, sebenarnya si agak males ikut, masalahnya situasi melasti di sini kurang khusuk. Kalo dulu masih kecil aku melasti di Rambutsiwi di bersama banjar didesa kelahiranku. Kalo disana lebih hikmat suasananya. Sebagian besar orang datang ksini yang muda muda untuk beralasan supaya dapat jalan ma pacarnya, trus yang tua supaya dapat liat-liat penjualan barang aneh yang datang dari daerah seberang.

Suasana begitu panas dan pengap. Suara pedagang obat saling beradu, menjajakan dagangannya. Sesekali terlihat gadis-gadis memakai brokat transparan yang kelihatan belah buah dadanya. Entah ap yang ada didalam pikiran gadis-gadis tersebut mengenakan brokat. Padahal sudah gak jamannya lagi. Kalo gak ku liat, sayang, pemandangan menarik, kalo diliat, pikiranku jadi rusak, niak sembahyang.

Aku menghampiri pedagang obat yang dikerumi banyak orang. Aku merasa heran, geli, sdikit ktawa dalam hati. Pegadang obat tersebut dengan banyak ocehan memberikan sugesti kepada pembeli agar percaya itu mujarap. Entah apa yang ada didalam pikiran orang-orang yang mau membelinya. Terdengar ada beberapa orang dsampingku berkata, "men meli ubad ne harus hakin nyegerang, men sing nak sing mujarap", gtu katanya.

Aku pergi mnuju tempat persembahyangan. Wah udah rame. Langsung cari tempat duduk.

Malam harinya aku bareng ortuku sembayang ke Pura Puseh Desa. Suasananya si gak bgitu rame, cuman ada beberapa orang yang memang belum sembahyang tadi sore swaktu Ida Bhatara rauh. Ajiku ikut ngiring waktu itu. Namun aku udah dirumah karena mah kambuh belum makan.